Edukasi Kekerasan Seksual Pada Remaja
Pada zaman sekarang ini kata “seks” bukanlah hal yang tabu dikalangan remaja, karena tidak jarang diantara mereka yang pernah melihat atau melakukannya. Jadi untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka perlu adanya edukasi seks dini bagi anak remaja yang dilakukan oleh orang tua atau siapapun yang terlibat dikalangan remaja.
Pendidikan seks pada remaja merupakan edukasi yang efektif untuk memberi wawasan, bimbingan dan pencegahan bagi remaja dalam menghadapi persoalan seksual yang terjadi pada usianya serta bagaimana mengelola gejolak emosi yang terjadi. dan disinilah urgennya pendidikan yang diperlukan sejak dini sesuai perkembangan invividu. Islam sendiri menekankan bahwa masalah seks perlu digali sesuai tuntunan ilahi, misalnya melalui media pernikahan, dengan jalan berpuasa dan menahan pandangan.
Seks edukasi sangat dibutuhkan oleh anak remaja ditambah lagi remaja saat ini cukup mmeperihatinkan terlbeih lagi mengenai kemajuan teknologi dimana remaja bisa saja mengakses berbagai konten yang berbau pornografi yang mana hal tersebut sangat tidak dianjurkan untuk mereka. Sebagaimana survei yang telah dilakukan oleh (kpai) dengan (kemenkes) yang dilakukan pada bulan oktober 2013 ang menyatakan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks diluar pernikahan yang mana perilaku tersebut sangat bertentangan dengan norma dan keagamaan, Yang lebih miris lagi 20% dari 94,270 perempuan yang mengalami hamil diluar nikah yang masih dibawah umur dan 21% diantaranya telah melakukan aborsi dimana seharusnya mereka menempuh pendidikan tetapi malah melakukan hal-hal yang sangat merugikan dirinya dan keluarganya. Tidak hanya resiko hamil diluar nikah yang mereka dapatkan akan tetapi infeksi HIV yang kemungkinan besar terjadi. Fenomena seperti ini terjadi akibat dari kemudahan mengakses untuk mendapatkan konten pornografi tanpa adanya bekal edukasi seks pada anak sejak dini dan disinilah orang tua sangat berperan penting dalam mendidik anak-anak mereka.
Seks edukasi ini merupakan tanggung jawab orang tua mereka akan tetapi kebanyakan dari mereka yang kebingungan dalam mengajarkan anak mengenai seks, mereka berpikir mengajarkan seks edukasi itu bermula dari mana. Satu hal yang perlu diingat bahwa seks edukasi pada anak berbeda dengan mengajarkan anak melakukan seks. Karena seks edukasi merupakan pengetahuan bagi anak untuk mereka mengenali fungsi tubuhnya. Serta memberikan pemaham pada remaja mengenai etika dan aturan sosial yang berlaku serta dampak yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan mereka. Karena tanpa seks edukasi rasa penasaran yang timbul dalam diri mereka sehingga dapat mengambil resiko untuk mengembangkan seksualitasnya yang berakibat fatal bagi dirinya.
Usia remaja merupakan masa pubertas dimana remaja mengalami banyak perubahan terkait fisik maupun psikis akibat berkembangnya hormon. Pubertas berkaitan dengan perubahan fisik yang terjadi selama masa pra remaja dan masa remaja. Pada fase remaja dorongan seksual mulai muncul dalam diri individu. Disinilah sisi mental dan sosialnya mulai bergejolak dan remaja pada fase ini mulai berupayah mencari dan menemukan jati dirinya. Pada masa ini pula remaja mudah goyah serta belum memiliki ke stabilan mental sahingga pada fase ini remaja membutuhkan pengawasan dan bimbingan dari orang tua. Ajak mereka bercerita dengan terbuka agar mereka merasa nyaman sehingga setiap pertanyaan yang akan muncul dalam pikirannya mengenai topik pembicaraan agar lebih mudah diungkapkanya.
Salah satu tujuan utama dari seks edukasi adalah membantu semua orang untuk memahami perkembangan fisik serta emosional yang dialami oleh diri sendiri dan orang-orang disekitarmu saat masa pubertas terjadi. Dengan pemahaman yang lebih terperinci menganai perubahan dan perbedaan yang kemungkinan terjadi saat masa pubertas, maka kamu dapat bersikap lebih bijaksana dan saling menghargai satu sama lain.
Berbicara mengenai seks edukasi tidak hanya mengenai organ tubuh reproduksi saja, tetapi banyak hal yang harus kita pelajari antara lain ekonomi, sosial budaya bahkan politik seperti banyakna PSK dimana-mana hal tersebut disebabkan oleh perekonomian sehingga mereka tidak lagi bertanggung jawab atas alat reproduksi yang dimilikinya dan tidak memikirkan dampak-dampak yang didapatkan dari perbuatan seks tersebut.
Dengan mempelajari seks edukasi diharapkan kepada remaja agar menjaga oragan-organ reproduksinya dan orang lain tidak boleh menyentuhnya teruntuk remaja putri. Organ reproduksi merupakan hak setiap remaja untuk melindungi dari berbagai hal-hal yang tidak dinginkan terjadi.
Memberikan informasi terhadap remaja memerlukan kalimat dan waktu yang tepat agar mereka tidak salah dalam memahami makna dari informasi yang mereka dapatkan. Orang tua harus bijak dalam mengambil topik pembicaraan. Adapun topik yang dapat diangkat melalui media sosial terkait masalah pemerkosaan dan pelecehan seksual yang dapat diangkat sebagai informasi terkait seks edukasi. Edukasi juga dapat disampaikan ketika terdapat seseorang mengalami hamil diluar nikah dengan adanya kasus seperti ini dapat dijadikan sebagai bahan pembahasan.
Menurut sigmun freud dalam teori psikonalisa tahapan perkembangan psikoseksual yang dilalui anak terbagi menjadi lima fase. Fase pertama (1.5) tahun adalah masa oral ditandai dengan kepuasan yang diperoleh anak melalui aktivitas mulutnya. Pada tahap ini, anak memeproleh informasi seksual melalui mulutnya. Pada fase kedua (1,5-3 tahun) tahap anal, dimana kesenangan terpusatkan didaerah anus. Fase ketiga (3-6 tahun) yaitu tahap falik, kesenangan anak dipusatkan didaerah genital kemudian fase laten (6-pubertas) dimana anak menekankan hasrat seksual kemudia mengembangkan keterampilan sosial dan intelektual. Dan tahap fase terakhir adalah tahap genital yaitu saat kebangkitan seksual, sumber kepuasan seksual adalah masa pubertas dan sebagainya. tahapan-tahapan yang dialami dalam masa perkembangan tersebut diharuskan dapat melibatkan orang tua agar lebih peduli akan pendidikan seks sejak dini. Dimana anak-anak perlu diberikan pendidikan mengenai seks dengan materi yang berbeda dengan yang disampaikan kepada orang dewasa sehingga dikatakan bahwa pendidikan seks yang paling baik adalah orang tua.
Kesadaran orang tua menjadi penting dan sekaligus jadi guru untuk anak mereka, hendaknya disekolah mereka dibekali mengenai seks edukasi agar dapa mengurangi dampak-dampak negatif yang memungkinkan untuk terjadi seperti kehamilan diluar nikah, aborsi, putus sekolah bahkan sampai kematian pada anak remaja. Hal tersebut dapat dimulai dari keluarga dan pendidikan seks sejak dini dengan informasi sesuai dengan usia mereka.
Adapun perspektif islam mengenai seks pranikah inti dalam ajaran islam sudah tersedia secara sempurna terhadap kehidupan manusia dengan berbagai permasalahannya, termasuk perkara sensasi manusia yaitu seksual. Dengan porsi yang sangat cukup, Alqur’an dan hadis memberikan aturan dalam rangka menjelaskan guna membimbing manusia terkait dengan seksual sebagai fitrah baginya, dan bagaimana seharusnya manusia memanfaatkan fitrah tersebut menurut islam. Demikia juga agar manusia dapat menghindari seksual terlarang sekecil apapun dan menutup kemungkinan penyebab terjadinya perilaku seksual terlarang.
Perilaku seks pranikah sangat dicela oleh agama dan dilaknat oleh Allah. Pelakunya dapat dikenakan sanksi hukuman berat berupa rajam. Menganai larangan seks pranikah, Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat 32 :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya :“Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk.
Ayat diatas menjelaskan mengenai larangan melakukan perbuatan zina, sehingga jelas bahwa zina sendiri dilarang oleh ajaran islam. Bahkan perbuatan zina termasuk dalam dosa besar sebagaimana dosa syirik.
Perbuatan mendekati zina (seks pranikah) yang dilarang adalah pacaran yang mengakibatkan pelakunya ingin melakukan zina (seks pranikah). Mendekati sesuatu yang dapat merangsang nafsu sehingga mendorong diri kepada perbuatan seks pranikah juga termasuk perbuatan yang mendekati zina. begitu pula dengan perbuatan yang berpotensi mendorong nafsu seperti menonton aurat dan menghayalkannya adalah mendekati perzinaan. Menurut Al-ghazali perbuatan keji yang tampak adalah zina sedangkan dosa besar yang tersembunyi adalah mencium, menyentuh kulit, dan memandang dengan syahwat. Dalil-dalil yang berisi larangan untuk melakukan perbuatan zina diantanya adalah QS. An-Nur ayat 2 yang berbunyi :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِين
Artinya:“Pezina perempuan dan pezina lakilaki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk melakukan agama (hukum) Allah Swt. Jika kamu beriman kepada Allah Swt. Dan hari kemuadian dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang beriman”.
Saat ini kita hidup dalam zaman yang amat terbuka. Bahkan terlalu terbukanya pergaulan dalam masyarakat, nilai-nilai agama pun mulai ditinggalkan. Anak-anak remaja zaman sekarang seakan-akan berlomba dalam hal ini. Begitu banyak gadis-gadis yang mempertontonkan kemolekan tubuhnya dan banyak lagi hal-hal yang membuat perzinahan seakan-akan menjadi sesuatu yang wajar-wajar saja.
Zina sendiri dibagi menjadi beberapa seperti zina mata, zina telinga, zina kaki dan tangan yang terbilang masih cukup ringan. Namun jika dibiarkan dan diulang berkali-kali tentu menjadi dosa besar yang seharusnya dijauhi oleh umat muslim yang bertaqwa. Misalnya saja berpacaran melampaui batas wajar yang kemudian menjalar keperbuatan yang melanggar ajaran agama.
Kajian islam banyak yang megajarkan mengenai pendidikan seks antara lain fiqih, filsafat keislaman, tafsir serta beberapa kajian islami lainnya yang membahas terkait dengan potensi seksual dan gender. Dalam psikologi islam pendidikan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas nafs dan membentuk kualitas nafs menjadi lebih baik. Pendidikan seks dalam psikologi islam adalah sarana untuk membentuk nafs terhadap peserta didik sehingga mereka mampu untuk mengendalikan potensi seksual sehingga memiliki sifat iffah dan mapu mengarahkan potensi tersebut ke arah yang baik sesuai dengan norma-norma islam.
Tulisan ini dibuat dengan tujuan untuk mendukung dan menyuarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.
Seorang guru berinisial DH (57 tahun) di salah satu lembaga pendidikan agama di Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo, diduga melakukan tindak pidana seksual kepada seorang murid perempuan yang duduk di bangku kelas 12. Kejadian itu terungkap usai beredarnya video yang merekam dugaan asusila oknum guru terhadap siswa didiknya.
Dampak pasca tersebarnya video tersebut menjadi pukulan serius bagi dunia Pendidikan, namun sangat disayangkan berbagai stigma, hinaan, cacian terus ditujukan kepada korban secara terus menerus. Bahkan di masyarakat masih menguat persepsi bahwa anak dalam video tersebut tidak pantas disebut sebagai “korban” seolah membangun persepsi yang keliru bahwa hubungan keadaan antara guru dan murid karena persoalan asmara dan suka-sama suka.
Berbagai komentar diskriminatif yang diproduksi masyarakat melalui akun sosial medianya menunjukan betapa minimnya pemahaman Masyarakat kita dalam memahami akar permasalahan kekerasan seksual. Hanya melalui satu publikasi akun gossip saja berbagai persepsi keliru memuat beragam pandangan diantaranya, menikahkan anak korban dengan pelaku, persepsi bahwa disebut sebagai korban hanya apabila ada paksaan, ada yang teriak minta tolong, gak sampe terjadi berulang bahkan yang paling jahat adalah komentar agar korban dipenjara serta ajakan untuk tidak melihat background anak yang masih dibawah umur, yatim piatu, fatherless untuk membela korban. Sungguh persepsi menyesatkan tersebut apabila terus dibiarkan tumbuh subur di pikiran kebanyakan orang justru akan terus membuat budaya hukum kita ada dalam bayang-bayang nilai patriarki. Ancaman terhadap kerja-kerja perubahan sistem pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di satuan Pendidikan akan terasa berat bahkan mungkin akan melemahkan berbagai peraturan perundang-undangan untuk menghapus segala bentuk kekerasan seksual.
Lalu bagaimana sesungguhnya cara kita memahami akar permasalahan kasus guru dan murid yang terjadi di Gorontalo ?
Kita pahami bersama bahwa Kekerasan Seksual adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) dan kejahatan kekuasaan. Sehingga oknum guru dalam hal ini membutuhkan cara untuk mengontrol dan mengendalikan korban untuk menuruti maksud jahatnya dengan memanipulasi keadaan yakni tipu daya, bujuk rayu salah satunya dijanjikan akan dibiayai sekolahnya.
Lalu apakah caranya harus dengan Kekerasan fisik, ancaman, intimidasi ?
Oh tentu saja tidak.. perbuatan manipulatif yang dilakukan oknum guru dan murid wajib dipandang sebagai kejahatan karena relasi kuasa yang tidak seimbang ditambah lemahnya fungsi pengawasan sekolah. Guru adalah figur otoritas yang dipercaya untuk membimbing, mendidik, melindungi dan menjadi teladan bagi anak-anak. Namun, ketika guru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan seperti kekerasan seksual, maka ia tidak hanya menghancurkan masa depan anak tersebut tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan secara keseluruhan.
Apa yang terjadi pada anak korban salah satunya dikontribusikan karena kegagalan sistem di satuan Pendidikan dalam merespon sinyal tanda bahaya saat korban menceritakan kepada orang terdekatnya tentang kondisi perasaan tidak nyaman saat oknum guru menyentuh salah satu bagian tubuh sensitif korban di ruangannya. Korban mengaku merasa kaget hingga menangis, trauma dan beberapa hari tidak mau masuk ruangan guru. Bahkan Menurut Kasubdit Penmas Bidang Humas Polda Gorontalo, Kompol Henny Muji Rahayu yang menangani kasus ini menjelaskan bahwa korban sempat merasa risih dan mencoba menolak hingga melakukan perlawanan, namun karena perilaku manipulatif melalui bujuk rayu oknum guru, akhir kekerasan seksual bisa terjadi berulang.
Apa yang terjadi pada oknum guru biasa disebut sebagai perilaku child grooming sebagai bagian dari Tindakan sexual grooming yaitu strategi sistematis seseorang dalam membangun kepercayaan seorang, yang biasanya masih anak-anak atau remaja. Tindakan tersebut bertujuan untuk memanipulasi atau memaksa korban agar terlibat dalam aktivitas seksual dan membuat korban terjebak dalam keadaan eksploitatif. Pelaku grooming akan mencari celah dalam kerentanan anak secara bertahap yang meruntuhkan atau melanggar batasan mereka. Sambil membangun kendali dan melakukan pelecehan seksual, pelaku juga meyakinkan lingkungan sekitar bahwa anak atau remaja tersebut aman dalam pengawasannya.
Dalam KUHP lama yang terbilang sangat jadul sekali, dalam pasal 294 ayat (1) mengatur norma “Barangsiapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaan dianya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun” . Norma jadul ini tentu saja tidak mewajibkan ada unsur “Kekerasan” dan “Ketiadaan persetujuan”.
Hubungan Keadaan yang terjadi pada oknum guru dan murid telah gagal dimitigasi oleh satuan pendidikan dan terus terjadi secara berulang yang membuat korban merasa kesulitan sendiri untuk bisa lepas dari keadaan manipulatif yang melingkarinya bahkan lebih parah lagi, ketika kasus seperti ini muncul, sering kali korban justru mendapatkan tekanan, bukan dukungan. Kasus di Gorontalo ini memperlihatkan kepada kita betapa rentannya posisi anak-anak ketika berada di bawah asuhan orang yang seharusnya mereka percayai.
Kepercayaan besar yang diberikan kepada guru menjadikan mereka memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan siswa. Siswa menganggap guru sebagai panutan dan sering kali merasa takut atau tidak berdaya untuk melawan ketika mereka merasa tidak aman. Guru harus dibangun perspektif dan keberpihakannya kepada korban, tidak hanya dengan pengajaran soal mata pelajaran, tetapi juga soal batas-batas yang jelas dalam hubungan profesional dengan siswa. sehingga setiap guru memahami tanggung jawab moral dan hukum mereka.
Hingga tulisan ini dibuat, didapati informasi bahwa korban telah dikeluarkan dari sekolah karena dianggap mencemarkan nama baik sekolah. Hal tersebut sungguh memprihatinkan, padahal salah satu kegagalan sistem adalah pihak sekolah yang tidak melakukan fungsi pengawasan dengan baik terhadap guru dan siswanya apalagi peristiwa ini terjadi dua tahun lamanya. Kondisi tersebut semakin menegaskan bahwa dalam hal ini sekolah hanya mengacu kepada aturan tata tertib yang mereka buat bahwa siswa yang mencemarkan nama baik sekolah harus dikeluarkan. Padahal kejadian tersebut murni tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang membutuhkan perlindungan Hukum dan dukungan psikologis.
Satuan Pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswa, malah menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual, secara tersembunyi. Kasus di Gorontalo ini seharusnya menjadi momentum bagi kita untuk menyoroti kelemahan dalam sistem perlindungan anak dan mendesak adanya perubahan yang signifikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di satuan Pendidikan.
Pendidikan Kesehatan reproduksi dan seksualitas (PKRS) bukan hanya tentang mengajarkan tentang anatomi atau reproduksi, tetapi juga tentang bagaimana melindungi diri mereka sendiri dari kekerasan seksual, mengenali tanda-tanda pelecehan, dan berani melaporkan kejadian kepada pihak yang berwenang. Kesadaran ini perlu ditanamkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, agar anak-anak memiliki kekuatan untuk melawan jika mereka menjadi korban. Mari dukung dan terus suarakan pemenuhan hak korban untuk mendapatkan penanganan, pelindungan dan pemulihan secara berkelanjutan untuk kehidupannya yang lebih baik dimasa depan.
Pentingnya Edukasi Seks untuk Remaja dalam Mencegah Dampak Negatif Seks Bebas
Edukasi kesehatan, terutama yang berkaitan dengan seks, menjadi aspek yang krusial bagi remaja. Hal ini penting karena ketidakpahaman dapat membawa dampak negatif, seperti tanggung jawab yang tidak benar terhadap seks dan kurangnya pemahaman mengenai anatomi reproduksi.
Mengapa Edukasi Seks Penting?
Faktor Penyebab Seks Bebas
Penyakit Infeksi Menular Seksual
Tidak semua, penyakit infeksi menular seksual menampakkan gejala. Sebagian besar tidak bergejala, namun tetap berpotensi menularkan penyakit
HIV di Indonesia: Statistik dan Urgensi Edukasi Seks
Tahun 2022 mencatat 52.955 kasus positif HIV, menyoroti kebutuhan akan edukasi seks yang lebih baik. Dari jumlah tersebut, terdapat 14.150 kasus pada usia 1-14 tahun, menunjukkan risiko penularan HIV di kalangan remaja. Sekitar 100.000 orang di Indonesia positif HIV namun belum terdeteksi, menunjukkan perlunya upaya deteksi dini melalui edukasi dan pemeriksaan kesehatan rutin.
Pengertian HIV adalah;
Immunodeficiency (keadaan sistem kekebalan tubuh yang mengalami penurunan sehingga tubuh gagal melawan infeksi)
Pengertian AIDS adalah;
Acquired (didapat/ditularkan oleh orang lain)
Immune (kekebalan tubuh)
Deficiency (penurunan/kekurangan)
Syndrome (kumpulan gejala)
Perjalanan Infeksi HIV adalah dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah terinfeksi, HIV akan melemahkan sistem kekebalan tubuh (CD4).
Virus HIV tidak mudah menular, cara penularannya sangat terbatas, antara lain;
HIV tidak menular melalui:
Cegahlah HIV dengan cara: